BeritaEsport – Sebuah survei terbaru dari SMBC Consumer Finance di Jepang mengungkapkan fenomena mencemaskan di kalangan gamer muda. Hasilnya menunjukkan bahwa hampir 1 dari 5 responden berusia 20 hingga 29 tahun mengalami kesulitan finansial karena menghabiskan terlalu banyak uang untuk fitur gacha dalam game.
Survei yang dilakukan pada Februari 2025 ini melibatkan 1.000 responden dan menyoroti gaya hidup serta pola pengeluaran anak muda Jepang. Temuan mengejutkan datang dari 18,8% responden yang mengaku tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup akibat terlalu banyak menghabiskan uang untuk gacha—sistem undian berbayar dalam game yang mengandalkan keberuntungan.
Gacha: Antara Hiburan dan Kecanduan
Tidak hanya berdampak secara finansial, hampir seperempat gamer muda Jepang juga merasa menyesal setelah membelanjakan uang untuk gacha. Namun menariknya, 17,9% tetap rela mengeluarkan uang demi menjadi yang terbaik di game. Menunjukkan dilema antara ambisi kompetitif dan kesadaran akan dampaknya.
Sementara itu, sekitar 20,8% responden mengaku tidak bisa menikmati game tanpa melakukan gacha. Tren ini makin mengkhawatirkan ketika melihat bahwa baik pria maupun wanita menunjukkan peningkatan dalam pengeluaran in-game. Meskipun gamer pria cenderung lebih agresif dalam belanja digital.
Kisah Ekstrem dan Realita yang Menyesakkan
Salah satu kasus ekstrem yang sempat viral di Jepang adalah kisah seorang pria paruh baya yang menghabiskan tabungan neneknya senilai 250 ribu USD hanya untuk satu game mobile MMORPG pada 2024. Kisah ini menggambarkan betapa kuatnya daya tarik gacha yang bisa menjebak siapa saja, tak peduli usia.
Dengan hampir 1 dari 5 anak muda Jepang terjerat masalah keuangan karena game. Pertanyaan besar pun muncul: perlukah ada regulasi yang mengatur hal ini?
Saatnya Indonesia Bersiap?
Melihat fenomena di Jepang, tak sedikit yang mulai bertanya-tanya apakah Indonesia berpotensi mengalami hal serupa. Industri game Tanah Air tumbuh pesat, dan gacha menjadi fitur umum di banyak game populer. Dengan penetrasi internet tinggi dan populasi muda yang besar, Indonesia juga berisiko menghadapi gelombang adiksi belanja in-game jika tidak ada kontrol atau edukasi yang tepat.
Negara seperti Tiongkok telah menerapkan regulasi ketat terkait pembelanjaan dalam game, termasuk pembatasan jam bermain dan limitasi transaksi. Apakah Indonesia juga perlu melangkah ke arah yang sama?
Kesimpulan: Hiburan Tak Harus Menguras Dompet
Meskipun bermain game bisa menjadi hiburan yang menyenangkan dan bahkan menguntungkan dalam beberapa kasus, gacha berpotensi mengubah kesenangan itu menjadi jebakan finansial. Perlu ada kesadaran lebih tinggi di kalangan gamer Indonesia tentang batasan dalam bermain dan pentingnya mengatur pengeluaran digital.
Jika Jepang saja sudah mulai kewalahan menghadapi dampak budaya gacha, bisa jadi ini saatnya Indonesia mulai berpikir untuk bertindak—baik melalui edukasi, kontrol diri, atau bahkan regulasi di tingkat kebijakan.
Bagaimana menurutmu, apakah Indonesia perlu mulai mengatur praktik gacha dan belanja dalam game?