BeritaEsport – Pernyataan kontroversial dari Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, yang menyebut esports bukan olahraga karena minim aktivitas fisik, langsung menuai reaksi dari berbagai kalangan. Namun, realitanya tidak sesederhana itu. Beberapa cabang esports justru menuntut kebugaran tubuh dan latihan fisik intens agar para atletnya mampu bersaing di level profesional.
Berikut tiga contoh cabang esports yang membuktikan bahwa tidak semua game hanya butuh duduk dan klik mouse.
1. Sim Racing Esports: Butuh Refleks dan Daya Tahan Seperti Pembalap Asli
Esports simulasi balap seperti Gran Turismo dan Wangan Midnight Maximum Tune bukan hanya tentang siapa yang paling cepat di layar, tapi juga siapa yang punya kontrol fisik dan stamina terbaik. Dalam turnamen internasional seperti Gran Turismo World Series, para pembalap virtual ini harus mampu mengendalikan setir dan pedal secara akurat dalam waktu lama — layaknya mengemudi sungguhan.
Bahkan beberapa peserta terbaik sempat diundang ke lintasan nyata untuk menguji keterampilan mereka. Di Indonesia, kehadiran Andika Rama dalam GR GT Cup Asia 2023 juga menunjukkan bahwa esport ini bukan sekadar game, tapi juga soal ketahanan fisik dan mental saat melaju kencang dalam simulasi yang imersif.
2. VR Esports: Latihan Fisik Jadi Modal Utama
Virtual Reality (VR) Esports menjadi cabang yang paling jelas menunjukkan kebutuhan gerak aktif dalam kompetisi. Dalam ajang seperti VRMLCON 2025 di Eropa, para pemain bersaing dalam game seperti Pavlov Shack, Onward, dan Breachers, yang semuanya mengharuskan gerakan nyata seperti menunduk, merunduk, membidik, dan menghindar.
Berbeda dengan game FPS biasa, para atlet VR harus memiliki stamina, refleks cepat, dan kekuatan tubuh untuk tetap kompetitif. Tidak mengherankan jika latihan fisik seperti kardio dan latihan kelincahan menjadi bagian penting dari rutinitas mereka.
3. Rhythm Arcade: Saat Game Menuntut Tarian dan Keringat
Genre ini jadi bukti paling “fisikal” dari dunia esports. Game seperti DanceDanceRevolution (DDR) dan Pump It Up menggabungkan musik, refleks, dan stamina dalam satu paket kompetitif. Pemain harus melompat, menginjak, dan bergerak cepat mengikuti irama — tidak jauh beda dari latihan cardio yang sesungguhnya.
Bahkan game ini juga telah mencetak prestasi internasional. Atlet Pump It Up asal Indonesia pernah mengukir prestasi di kejuaraan dunia seperti World Pump Festival (WPF), membuktikan bahwa ketekunan dan latihan fisik intens bisa mengantarkan gamer ke panggung global.
Esports Tidak Sekadar Duduk dan Klik
Tiga contoh di atas menunjukkan bahwa tidak semua cabang esports itu “pasif”. Dalam banyak kasus, latihan fisik, stamina, dan ketahanan tubuh justru menjadi pembeda antara pemain biasa dan atlet juara. Komentar yang menyederhanakan esports sebagai sekadar permainan tanpa aktivitas fisik jelas tidak mencerminkan perkembangan dunia kompetisi digital saat ini.
Dengan makin luasnya genre dan format, masa depan esports mungkin akan semakin dekat dengan cabang olahraga fisik — baik dari sisi intensitas, disiplin latihan, maupun pengakuan publik.